Diduga Pungli Berkedok Adat, Oknum Kades di Kecamatan Sumber Probolinggo Minta Rp30 Juta

Probolinggo — Kasus dugaan perselingkuhan yang terjadi di salah satu desa di Kecamatan Sumber, Kabupaten Probolinggo, kembali mencuat dan kini berbuntut panjang setelah tim investigasi LSM BMW (Botan Matenggo Woengoe) Jatim mengantongi bukti bukti. Namun bukan soal moralitas hubungan dua insan dewasa yang disorot publik, melainkan tindakan seorang oknum kepala desa yang diduga memanfaatkan momentum ini untuk melakukan dugaan pemerasan berkedok sanksi adat, tanpa dasar hukum yang jelas, tanpa transparansi, dan tanpa dokumentasi resmi seperti kwitansi. Sabtu (5/7/25)

Informasi yang dihimpun oleh tim investigasi LSM BMW Jatim, kasus bermula dari hubungan tidak resmi antara seorang pria berinisial WO dan perempuan berinisial RT (40), yang diketahui telah memiliki dua cucu dan tinggal satu dusun. Diduga keduanya telah beberapa kali melakukan hubungan intim secara suka sama suka. Bahkan, menurut pengakuan, perempuan tersebut telah menerima sejumlah uang dari WO, yakni tiga kali masing-masing Rp500 ribu dan terakhir Rp15 ribu. Hal ini menunjukkan bahwa tidak ada unsur paksaan atau kekerasan dalam hubungan tersebut.

Namun, persoalan menjadi pelik saat hubungan ini diduga dimanfaatkan oleh oknum kepala desa setempat. Dengan mengatasnamakan “musyawarah adat/aturan adat”, oknum kades memanggil terlebih dahulu RT untuk dimintai keterangan. Setelah itu, giliran WO yang dipanggil bersama anak-anaknya dirumah oknum kades untuk dilakukan mediasi pada Sabtu malam Minggu yang sudah berlangsung sekitar 15 hari dari sekarang dirumah oknum Kades tersebut.

Dalam mediasi tersebut, menurut keterangan sumber internal, kepala desa diduga meminta uang sebesar Rp30 juta kepada WO sebagai “sanksi adat”, yang disebut akan digunakan untuk pembelian paving jalan lingkungan desa. Karena merasa takut dan malu, WO akhirnya menyanggupi permintaan tersebut dan menyerahkan uang langsung ke tangan kepala desa pada hari Senin berikutnya, disaksikan anak-anaknya. Namun, penyerahan uang itu tidak disertai kwitansi ataupun berita acara resmi.

Ironisnya, hingga berita ini diturunkan, dari pantauan tim di lapangan, hanya empat truk material paving yang dibeli, dengan harga per truk sekitar Rp4 juta. Artinya, total pengeluaran hanya sekitar Rp16 juta, jauh dari angka yang diminta sebesar Rp30 juta. Sisanya tidak jelas peruntukannya.

Permintaan Tanpa Dasar Hukum, Berpotensi Pungli dan Pemerasan

Praktik ini langsung memunculkan berbagai spekulasi di tengah masyarakat, terutama soal legalitas dan etika kepala desa dalam menangani kasus seperti ini. Dari sisi hukum, kepala desa bukan penegak hukum, dan tidak memiliki kewenangan menjatuhkan sanksi atau denda terhadap warga dalam kasus yang tidak berkaitan langsung dengan pelanggaran hukum positif.

Pakar hukum menyebut, tindakan kepala desa yang meminta uang sebesar Rp30 juta tanpa adanya keputusan musyawarah resmi yang terdokumentasi dan tanpa bukti transaksi dapat dikategorikan sebagai pemerasan sebagaimana diatur dalam Pasal 368 KUHP, dan bahkan penyalahgunaan wewenang sebagaimana tertuang dalam Pasal 423 KUHP.

Pasal 368 KUHP: “Barang siapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, memaksa orang lain dengan kekerasan atau ancaman supaya memberikan sesuatu… diancam pidana 9 tahun.”

Pasal 423 KUHP: “Pejabat yang dengan menyalahgunakan kekuasaannya memaksa seseorang untuk memberikan sesuatu… diancam pidana penjara paling lama 6 tahun.”

Jika benar terbukti memaksa atau menekan warga atas nama norma adat yang tidak tercatat dan tidak transparan, maka perbuatan tersebut dapat diproses secara pidana.

Bukan Perselingkuhan Menurut Hukum Positif

Dari sisi hukum positif, tidak ada pasal dalam KUHP yang melarang hubungan dua orang dewasa yang sama-sama lajang secara suka sama suka, kecuali jika terdapat unsur:

  • Pemerkosaan
  • Perzinaan (jika salah satu sudah menikah)
  • Perbuatan cabul di tempat umum
  • Asusila terhadap anak di bawah umur

Dengan demikian, tidak ada alasan hukum yang dapat membenarkan tindakan kepala desa untuk menjatuhkan “sanksi uang” terhadap WO dan RT, apalagi dalam bentuk pungutan yang tidak memiliki dasar hukum, administratif, maupun bukti pembayaran.

Kepala Desa Bisa Dijerat Sanksi Administratif

Merujuk pada UU Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa dan Permendagri Nomor 83 Tahun 2015, kepala desa yang terbukti menyalahgunakan wewenang bisa dikenakan sanksi administratif hingga pemberhentian dari jabatan.

Tindakan seperti:

  • Meminta uang tanpa dasar hukum
  • Tidak mencatat atau mendokumentasikan transaksi
  • Mengintimidasi atau menekan warga
  • Menggunakan jabatan untuk keuntungan pribadi

…merupakan pelanggaran serius terhadap etika penyelenggaraan pemerintahan desa.

Laporan ke Aparat dan Lembaga Pengawas

Tim investigasi LSM BMW menyatakan telah mengantongi bukti kuat berupa rekaman suara, pengakuan korban, dan saksi-saksi yang menyaksikan proses penyerahan uang tersebut. Dalam waktu dekat, tim berencana akan melaporkan kasus ini ke:

  • Inspektorat Kabupaten Probolinggo
  • Polres Probolinggo
  • Kejaksaan Negeri
  • Ombudsman RI Perwakilan Jatim

Langkah ini diambil agar tidak ada lagi penyalahgunaan kekuasaan oleh kepala desa atau pejabat publik lainnya yang mengatasnamakan adat, tetapi melanggar prinsip transparansi, akuntabilitas, dan keadilan hukum.

Redaksi akan terus mengawal perkembangan kasus ini dan memastikan masyarakat memperoleh keadilan. Siapa pun yang terbukti menyalahgunakan kekuasaan, wajib diproses sesuai ketentuan hukum yang berlaku.

“Pemerintahan desa seharusnya menjadi pengayom warga, bukan menjadi alat tekanan demi keuntungan pribadi.”

Bersambung ?

(Tim investigasi LSM BMW Jatim/**)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *